Kumbang
“Ada kumbang di rumahku. Katanya, kalau rumah kita tiba-tiba dimasuki kumbang, artinya ada yang mengirim sihir kepada salah seorang anggota keluarga yang tinggal di rumah.”
Namanya Sheila. Ia sahabatku. Rumahnya berada tepat di depan rumahku. Ia selalu datang ke rumahku setiap hari Sabtu. Ia juga yang mengenalkan aku dengan dunia mistis. Hahaha, zaman sudah serba teknologi, masih ada saja yang percaya hal seperti itu. Padahal, Sheila adalah primadona kampusku. Kalau para penggemarnya tahu dia masih percaya hal konyol seperti ini, mungkin aku akan jadi satu-satunya teman selama ia kuliah.
“Kamu masih percaya begituan? Mitos, hei!” Aku merespons ceritanya sembari tertawa.
Sheila memajukan badannya dan mengambil bantal sofa yang berada di belakangnya. “Ih, beneran! Ayahku yang bilang. Setelah kuceritakan ada kumbang masuk rumah, Ayah langsung mengaji.”
Selain menyukai Sheila on 7, ayah Sheila juga tidak menolak hal-hal yang berbau mistis. Baginya, dunia manusia dengan dunia gaib saling bersinggungan. Yah, aku bisa saja percaya, tapi naluriku berkata kalau hal-hal seperti itu hanya sugesti kita saja.
“Kira-kira, siapa yang yang ngirim itu ke keluargaku, ya?”
“Sheil, udah enggak usah dipikirin. Mending kamu doa aja. Kalau emang keyakinan kamu itu beneran sihir, kamu tangkal aja pakai doa. Beres, deh.”
“Enggak segampang itu kali. Aku yakin, pasti ada yang enggak suka sama salah satu anggota keluarga aku.”
Cuaca hari ini cukup panas. Aku sama sekali tidak tertarik dengan cerita Sheila. Bagiku, sepotong es krim lebih menarik dibanding cerita takhayulnya.
Bug!
Tiba-tiba ada suara yang cukup keras datang dari kamar orang tuaku. Aku dan Sheila berpandangan karena kaget. Tanpa mengeluarkan kata, kami langsung bergegas menuju sumber suara.
“Ayah! Kenapa, Yah?” teriakku panik. Ayahku muntah-muntah dan mengeluarkan darah yang sangat banyak dari mulutnya. Ia masih tergeletak di lantai ketika memintaku mengambilkan ponselnya di atas kasur. “Telepon Om Manto,” pinta ayahku yang semakin lama semakin lemas.
“Aku panggil ayahku dulu, ya, Om.” Tanpa ada yang merespons, Sheila langsung berlari menuju rumahnya.
Setengah jam kemudian, Om Manto datang dengan mengendarai sepeda motor. Om Manto merupakan teman Ayah. Hampir setiap malam, Om Manto berkunjung ke rumah dan mengobrol dengan Aayah di teras depan rumahku.
Om Manto datang saat ayahku sedang dirukiah oleh ayahnya Sheila. “Kok, dia bisa ada di sini?” tanya Om Manto sembari menunjuk ayahnya Sheila.
“Gara-gara dia, ayah kamu jadi kayak gini!” Om Manto tampak marah. Matanya yang melotot sangat seram, apalagi perawakannya seperti orang tidak terurus. Rambut gondrong yang semrawut seperti tidak pernah disisir, badan kurus, dan kumis panjang yang menyatu dengan janggut., Aku sampai heran kenapa Ayah mau berteman dengannya.
“Maksud Om apa, sih?” tanyaku dengan nada tinggi, menyeimbangi teriakan Om Manto.
“Gara-gara tadi malam dia mengaji, teluh itu kembali ke ayahmu!”
Aku kaget dan sangat tidak bisa berkata-kata. Aku yang tidak percaya hal gaib justru menjadi anak dari seorang penebar teluh.
—
Penulis: Pudyla
Penyunting: Aprilia Kumala