Ingin bersama selamanya karena sayang atau memang sayang karena sudah lama bersama?
Akhir-akhir ini, pikiranku dibuat kalut oleh kata-kata yang membuatku terngiang-ngiang. Aku punya kekasih yang sudah kupacari selama tujuh tahun. Tahun ini, kami menginjak usia 25. Usia yang cukup matang bagiku untuk melangkah ke tahap yang lebih serius.
“Pikirin lagi mateng-mateng, buat apa bersama, tapi udah enggak ada rasa,” Syila terus menghujaniku dengan kalimat menohok yang membuatku bimbang. “lo itu cuma sayang sama angkanya, bukan sama orangnya.”
Syila sepupuku, Ia adalah satu-satunya orang yang aku ceritakan tentang apapun masalahku. “Kok diam? Benar, ya, yang gue bilang?” Lanjut Syila seraya tertawa.
Sial, tepat sasaran semua perkataannya.
Aku mengundang Syila hari ini karena ingin menjadikannya saksi atas keberanianku. Aku ingin melamar Intan di tempat pertama kali kami bertemu. Tempat dengan deretan lampion indah yang mengiasi antargentingnya. Berada di sudut kota, membuat tempat ini nyaman didatangi karena jarang terdengar bisingnya kendaraan. Tempat yang tepat untuk mengajak seseorang melangkah menuju masa depan bersama.
“Gue cuma mau bilang, hidup itu satu kali, sebelum semua terlambat, hubungan hambar ini harus segera dicari solusinya,” Syila tidak berhenti menceramahiku. Ia seperti belum puas kalau aku belum bersepakat atas ucapannya. “Nug, percaya sama gue, sebelum lo lamar dia, bahas masalah ini.”
Masuk akal apa yang Syila katakan.
“Gue rasa apa yang lo bilang ada benarnya. Gue hanya sayang dengan waktu yang sudah gue habiskan lama sama dia,” akhirnya aku meluapkan lewah pikirku dalam kata. “gue cuma berpikir kalau hubungan ini harus diabadikan dalam ikatan pernikahan, kalau enggak sayang banget tujuh tahun gue cuma buang waktu.”
Sebelum aku selesaikan curhatanku, Intan datang dengan gaun koktail yang kubelikan khusus untuk hari ini. Ia tampak begitu cantik dan anggun dengan riasan yang sederhana.
“Wah, ada Syila juga. Halo, Syil,” sapa Intan. Ia memperlihatkan raut muka yang tampak kebingungan. “Kok, bisa ada Syila, Nug? Ada apa ini?”
“Duduk dulu, yuk,” kataku sambil menarikkan kursi dan mempersilakan Intan duduk tepat di hadapanku.
Suasana menjadi canggung.
“Gue ke toilet dulu, ya,” kata Syila memecah keheningan seolah paham situasi kami.
Setelah Syila pergi, aku mencoba membuka percakapan basa-basi dengan Intan, “tadi macet, ya?”
“Iya. Jadi, ada apa, Nug?”
Tatapan mataku tidak bisa berfokus hanya ke Intan. Aku cukup grogi hari ini.
“Kamu sadar kan kita udah 7 tahun bareng? Alasan kamu masih bertahan sejauh ini apa?”
“Ya, karena aku sayang kamu, Nugraha.”
“Karena sayang sama aku atau karena sayang udah lama sama aku?”
Intan terkesiap, “apa maksud kamu?”
“Aku merasa, lamanya hubungan ini bikin aku enggak rasional. Aku enggak tau kenapa aku harus terus sama kamu. Aku juga enggak tau apa benar kita akan baik-baik aja kalau terus sama-sama? Aku bingung banget.”
Aku merasa Intan mengerti penjelasanku ini.
“Kita enggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba berpikir begini. Hubungan kita baik-baik aja selama ini, bahkan tanpa jeda! Aku pikir kamu ajak aku ke sini mau kasih aku kejutan bahagia, ternyata kamu nyiapin ini semua cuma untuk mutusin aku,” Intan mulai emosional, nada bicaranya seakan menahan tangis. “Kecewa aku, Nug.”
Intan berpamitan dan berlari pergi meninggalkanku. Aku pun mengejarnya. Semakin aku mengejar, semakin Intan tak terlihat. Hingga tiba-tiba dari kegelapan terdengar suara.
BUK
Intan tertabrak mobil yang sedang melaju kencang. Ia tertabrak ketika hendak menyebrang jalan yang cukup gelap dan rawan kendaraan.
Aku menghampiri dan meletakkan kepalanya di pahaku. Darah bercucuran di sekujur tubuhnya. Rinai hujan mulai turun ke bumi menjadi saksi orang-orang yang mulai berdatangan mengelilingi kami. “Hari pertama sampai hari terakhir aku bersama kamu, rasa sayang ini tetap sama, Nug.”
Kalimat terakhir yang Intan ucapkan saat itu menjadi kalimat yang mengiringi napas terakhirnya. Intan pergi untuk selamanya.
**
Penulis: Pudyla
Penyunting: Ivan Lanin
*Tulisan ini dibuat untuk program swalatih pramubahasa di Narabahasa.